Beranda | Artikel
Akhlak Usahawan Muslim
Selasa, 1 April 2014

Oleh Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih & Prof. Dr. Shalah ash-Shawi

Kegiatan Usaha –dalam kaca mata Islam– memiliki kode etik yang bisa memelihara kejernihan aturan Ilahi, jauh dari sikap serakah dan egoisme, sehingga membuat usaha tersebut sebagai mediator dalam membentuk masyarakat yang saling mengasihi satu kepada yang lain.

Dasarnya adalah hal yang menjadi keyakinan seorang peng-usaha muslim itu sendiri, yakni bahwa harta itu pada dasarnya adalah milik Allah. Manusia seluruhnya hanya bertugas mengen-dalikannya. Orang yang bertugas mengendalikan tentu tidak berhak keluar dari aturan dan tujuan pemilik harta.

Kalau itu dilakukan, maka ia kehilangan posisinya sebagai pengendali harta. Karunia itu bisa berpindah dari dirinya kepada orang yang lebih pantas melakukan tugas tersebut dan lebih mampu menjaga apa yang menjadi hak harta itu.

Dalam kesempatan selayang pandang ini penulis hendak menyitir sebagian kode etik tersebut.

Semoga semua itu bisa membe-rikan sinar terang dalam kehidupan seorang pengusaha muslim.

Seorang usahawan muslim dalam melakukan berbagai aktivitas usahanya selalu bersandar pada dasar-dasar yang bisa penulis ringkas pada beberapa poin berikut ini :

  • * Niat yang tulus. Itu tergambar dalam niatnya mencari kebaikan buat dirinya dengan memelihara diri dari hal-hal yang haram serta memelihara dirinya dari sifat suka meminta-minta yang tidak baik, disamping menjadikan perbuatan itu sebagai sarana untuk mengikat hubungan silaturrahmi atau memberi karib kerabat. Niat tulus itu juga tergambar dalam upaya mencari kebaikan untuk orang lain dengan cara ikut andil membangun umat di masa sekarang dan untuk masa mendatang, serta mem-bebaskan umat dari belenggu ketergantungan kepada umat lain.
  • * Akhlak yang baik seperti kejujuran, sikap amanah, me-nepati janji, menunaikan hutang dan membayar hutang dengan baik, memberi kelonggaran orang yang kesulitan membayar hutangnya, menghindari sikap menangguhkan pembayaran hu-tang, penipuan, kolusi dan manipulasi atau yang sejenisnya.
  • * Bekerja dalam hal-hal yang baik, sehingga dalam pan-dangan mata seorang usahawan muslim tidak akan sama antara proyek perjudian dengan proyek pembangunan. Tidak akan sama baginya antara yang baik dan yang buruk, meskipun hal yang buruk itu menarik hatinya karena besar keuntungannya. Ia selalu menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, hanya melakukan usaha sebatas yang dibolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
  • * Menunaikan hak-hak yang harus ditunaikan, tanpa mela-kukan penangguhan pembayaran hutang, atau mengakhir-akhir-kan hak orang, yang terpenting di antaranya adalah hak-hak Allah dalam soal harta seperti zakat wajib, kemudian hak-hak sesama hamba seperti perjanjian usaha dan sejenisnya.
  • * Menghindari riba atau berbagai bentuk usaha haram lain-nya yang menggiring ke arah riba.
  • * Menghindari memakan harta orang dengan cara haram. Kehormatan harta seorang muslim seperti kehormatan darahnya. Harta seorang muslim haram untuk diambil kecuali dengan kere-laan hatinya.
  • * Menghindari sikap yang membahayakan orang. Seorang usahawan muslim harus menjadi seorang kompetitor yang baik. Segala aktivitas usahanya selalu didasari oleh kaidah “Segala ba-haya dan yang membahayakan itu haram hukumnya”. Itu salah satu kaidah ushul fiqih yang komprehensif. Bahkan banyak persoalan hukum praktis yang tidak terhitung jumlahnya yang didasari oleh kaidah tersebut.
  • * Berpegang-teguh kepada peraturan dalam bingkai undang-undang syariat, sehingga ia tidak menjebloskan dirinya untuk terkena sanksi hukum positif karena pelanggaran-pelanggaran.
  • * Bersikap loyal terhadap kaum mukminin. Seorang usaha-wan muslim harus menjadi juru nasihat umat Islam, selalu memenuhi janji keislamannya, tidak membelakangi umat Islam dengan bersikap memusuhinya, dan tidak sudi ikut andil dalam berbagai proyek usaha dengan kalangan non muslim yang bisa menyebabkan bahaya terhadap umat Islam.

Ulasan rinci tentang akhlak usahawan muslim dapat dibaca dalam 10 subjudul selanjutnya pada rubrik ini.

Niat Yang Tulus

Dengan niat yang tulus, semua bentuk pekerjaan yang ber-bentuk kebiasaan berubah menjadi ibadah. Kehidupannya akan berubah pula menjadi kehidupan yang teratur dan kosmopolit, berisi berbagai macam ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah. Dengan cara ini kita bisa memahami makna yang menda-lam dan komprehensif dalam firman Allah :

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu…” (Adz-Dzariyat: 56).

Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu dinilai bila disertai dengan niat. Dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan balasan dari perbuatannya sesuai dengan niatnya..”

Yang dimaksudkan dengan niat dalam konteks hadits di atas adalah adanya keinginan baik terhadap diri sendiri dan orang lain.

Keinginan baik untuk diri sendiri, yakni selalu menjaga diri sendiri dari hal-hal yang haram, memelihara diri dari kehinaan meminta-minta, menguatkan diri untuk melakukan ibadah kepada Allah, menjaga silaturrahmi dan hubungan kerabat, dan berbagai bentuk kebajikan lainnya.

Keinginan baik terhadap orang lain, yakni ikut andil meme-nuhi kebutuhan masyarakat yang perbuatan itu terhitung fardhu kifayah, memberi kesempatan bekerja kepada orang lain untuk membebaskan pada diri mereka apa yang selama ini diinginkan olehnya untuk dirinya sendiri dalam hal yang sama.

Demikian juga turut andil membebaskan umat dari ketergantungan kepada orang lain serta berbagai akibat yang ditimbulkan seperti ikatan perbudakan dan imperialisme/penjajahan, serta banyak lagi keba-jikan-kebajikan lain yang bukan saatnya sekarang untuk dibeber-kan secara mendetail.

Niat –sebagaimana sering dikatakan orang– adalah bisnisnya para ulama. Karena pahala dari satu amal kebajikan bisa bertam-bah menjadi berkali-kali lipat karena tergabungnya berbagai macam niat tulus dalam satu waktu. Hal itu amatlah mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah!

Budi Pekerti Yang Luhur

Di antaranya dalam dunia usaha ini. Bentuknya seperti: kejujuran, sikap amanah dan legawa, sifat suka menunaikan janji, bersikap konsekuen dalam membayar hutang dan memiliki tole-ransi dalam menagih hutang, memberikan kelonggaran kepada orang yang berhutang dan kesulitan membayarnya, memahami kekurangan orang lain, memenuhi hak-hak orang lain, menghin-dari sikap menahan hak, menipu, manipulasi dan sejenisnya.

Akhlak yang baik adalah tulang punggung agama dan dunia. Bahkan kebajikan itu adalah akhlak yang baik. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia. Orang yang paling baik akhlaknya adalah orang yang paling disukai oleh Rasulullah dan paling dekat dengan majlis Nabi di hari Kiamat nanti. Orang yang berakhlak baik telah berhasil men-dapatkan kebaikan dunia dan akhirat.

Seorang usahawan muslim selalu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Sikap itu tidak muncul hanya dari sisi kepen-tingan komersial semata, seperti yang dilakukan kalangan non muslim. Namun sikap itu muncul dari keyakinan yang kokoh. Porosnya adalah ketaatan kepada Allah a dan mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta mengharapkan pahala dalam hal itu. Kalau-pun mereka mendapatkan keuntungan di balik tindakan mereka tersebut, seperti dagangannya yang semakin laris, hal itu terjadi sebagai hasil tujuan sampingan, bukan tujuan utama.

Budi pekerti yang baik bagi kalangan usahawan muslim berpengaruh amat besar dalam penyebaran Islam di banyak negara-negara Asia dan Afrika. Kenyataannya bahwa Islam terse-bar melalui perantaraan para saudagar yang berdakwah, bukan da’i yang berniaga.

Namun hampir tidak pernah habis keheranan kita pada perbedaan antara realitas masyarakat barat yang justru sangat ahli di bidang pelayanan menyambut para pelanggan, plus sikap supel dan rendah hati dalam berinteraksi dengan pelanggan, dengan realitas masyarakat Islam yang banyak di antaranya dalam cara mengelola usahanya justru lebih pintar menyakiti pelanggan dan bersikap kasar terhadap mereka. Seolah-olah perbuatan mereka tersebut mengatakan kepada para langganan mereka, “Jangan sekali-kali kamu sekalian kembali berhubungan bisnis dengan kami.!”

Padahal kalangan barat melakukan semua itu hanya karena dorongan profesionalitas usaha saja. Sementara kaum muslimin sebagai para pewaris agama Allah biasa menyatakan, “Senyum kita kepada saudara kita adalah sedekah!” Mereka juga menyatakan, “Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun, meski hanya sekedar bertemu saudaramu dengan wajah cerah.”

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, memberikan pujian kepada Nabi-Nya:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung….” (Al-Qalam: 4).

Demikian juga Allah berfirman:

Katakan ucapan yang baik kepada manusia…” (Al-Baqarah: 183).

Rasulullah bersabda :

اَلْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، أَوْ قَالَ حَتىَّ يَتَفَرَّقَا. فَإِنْ صَدُقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فيِ بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Dua orang yang melakukan akad jual beli boleh saling menya-takan pilihan, sebelum mereka berpisah dari lokasi penjualan. Kalau keduanya jujur dan berterus-terang, jual beli mereka akan dipenuhi berkah. Kalau mereka berdusta dan saling menyem-bunyikan sesuatu, pasti dihapus keberkahan jual beli tersebut…”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اَلتَّاجِرُ الصَّدُوْقُ اْلأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ

“Seorang pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan dikum-pulkan bersama para nabi, para shiddiq dan orang-orang yang mati syahid…”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً سَمَحاً إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى

“Semoga Allah memberikan rahmatNya kepada orang yang sudah memberi kelonggaran kepada orang lain ketika menjual, membeli atau menagih hutang.”

Usaha Yang Halal

Allah menghalalkan yang baik-baik kepada para hambaNya dan mengharamkan kepada mereka yang jelek-jelek. Seorang usahawan muslim tentu saja tidak bisa keluar dari bingkai aturan ini, meskipun terbukti ada keuntungan dan hal yang menarik serta menggiurkan baginya. Seorang usahawan muslim tidak seharusnya tergelincir hanya karena mengejar keuntungan sehingga membuatnya berlari dari yang dihalalkan oleh Allah dan mengejar yang diharamkan oleh Allah. Padahal segala yang dihalalkan dapat menjadi kompensasi yang baik dan penuh berkah. Segala yang disyariatkan oleh Allah dapat menggantikan apapun yang diharamkan oleh Allah.

Berdagang komoditi yang diharamkan seperti minuman keras, bangkai, daging babi, perdagangan riba dan sejenisnya, tidak akan membuat pengusaha muslim yang jujur berpaling dari Rabbnya apalagi harus menjebloskan diri ke dalam semua perniagaan ha-ram tersebut atau menjadikannya sebagai sumber usahanya.

Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan keistime-waan seorang usahawan muslim yang seluruh aktivitasnya bertolak dari kaidah halal dan haram, yang seluruh usahanya dilakukan dengan mendendangkan syiar mencari keridhaan Allah sebagai tujuan akhir. Sebaliknya, kalangan pelaku usaha lainnya tidak memperdulikan kebaikkan maupun keburukkan usaha yang dijalaninya. Dalam pandangan mereka sama saja proyek perjudian dengan proyek pembangunan. Karena mereka telah mencampakkan tata nilai, agama dan etika secara total dari paradigma pemikiran ekonomi mereka.

Padahal ikatan ini bisa membentuk tatanan yang bersih dalam aktivitas usaha ketika itu dilakukan oleh tangan-tangan yang terbimbing cahaya Ilahi, diprakarsai oleh orang-orang ber-iman yang selalu mengharapkan rahmat Allah dan takut terhadap siksaNya. Sehingga mereka tidak akan terjerumus karena menge-jar kenikmatan instan atau jatah dunia yang bersifat sementara. Mereka mencukupkan diri dengan jatah yang ditentukan oleh Allah dan Rasulnya, karena yang halal itu sudah terlalu luas buat diri mereka.

Oleh sebab itu, di tangan pengusaha muslim harta tidak akan berubah menjadi alat perusak kehidupan masyarakat, yang menghancurkan rumah yang sejahtera, dan merusakan generasi yang dilahirkan. Tidak, tetapi harta itu akan berfungsi sebagai-mana yang dikehendaki oleh Allah, Rabb dari sekalian makhluk. Menjadi sebuah energi yang memancar, tumbuh dan berkembang. Sebuah kekuatan yang mengandung berbagai kebajikan dan karunia. Menjaga mata air yang selalu memancarkan berkah dan kenik-matan. Sehingga seluruh umat merasa bahagia. Karena keuntungan usaha tersebut dapat dirasakan oleh seluruh umat.

Allah berfirman:

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharam-kan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolong-nya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang ber-untung.” (Al-A”raf: 157).

Allah juga berfirman:

“Katakanlah, “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keber-untungan.” (Al-Maidah: 100).

Ungkapan “yang buruk” bisa berlaku bagi ucapan, ketetapan dan perbuatan, atau sikap penolakan yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya.

MENUNAIKAN HAK

Seorang pengusaha muslim akan menyegerakan untuk menunaikan hak orang lain baik itu berupa upah pekerja, maupun hutang terhadap pihak tertentu. Seorang pekerja harus diberi upah sebelum keringatnya kering. Sikap orang yang memper-lambat pembayaran hutang merupakan kezhaliman. Adapun orang yang mengingkari hutangnya boleh disebarkan aibnya dan diberi hukuman.

Dengan demikian, pada suatu usaha jasa atau badan niaga diharuskan untuk menciptakan suatu sistem yang memiliki orientasi menyegerakan penunaian hak tersebut, seperti memper-cepat pembayaran atau membayarnya sesuai waktu yang diten-tukan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَعْطُوْا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بيِ ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرّاً فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اِسْتَأْجَرَ أَجِيْراً فَاسْتَوْفىَ مِنْهُ،

وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

“Ada tiga golongan yang menjadi musuhKu di hari Kiamat nanti. Orang yang memberi (jaminan) atas namaKu, lalu ia berkhianat. Orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasilnya. Dan orang yang menyewa pekerja dan meminta pekerja itu untuk melaksanakan seluruh tugasnya, namun tidak memberikan upah-nya..”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

مَطَلْ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

“Sikap orang kaya memperlambat pembayaran hutang adalah kezhaliman..”

Di antara hak-hak yang harus ditunaikan yang paling utama adalah hak-hak Allah terhadap para hambaNya yang kaya dalam harta mereka. Yakni dalam bentuk zakat-zakat wajib, diikuti oleh sedekah dan infak. Semua pengeluaran itu dapat membersihkan harta dari segala noda syubhat dan dapat mensucikan hati dari berbagai penyakit yang menyelimutinya seperti rasa kikir, tak mau mengalah dan egois. Harta tidak akan berkurang karena sedekah. Harta tidak akan hilang karena membayar zakat baik di darat maupun di lautan. Sebaliknya, setiap kali satu kaum meno-lak membayar zakat, pasti hujan akan tertahan dari langit. Kalau bukan karena binatang, pasti hujan tidak akan turun. Semua pe-ngertian itu bisa diperoleh dalam banyak dalil-dalil yang shahih.

Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mem-punyai apa-apa (yang tidak mau meminta)..” (Al-Ma”arij: 24-25).

Allah berfirman:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo”alah un-tuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Menge-tahui.” (At-Taubah: 103).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ صَاحِبِ كَنْزٍ لاَ يُؤَدِّي زَكَاتَهُ إِلاَّ أُحْمِيَ عَلَيْهِ فيِ نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُجْعَلَ صَفَائِحُ، فَيُكْوَى بِهِ جَنْبَاهُ وَجَبِيْنَهُ، حَتىَّ يَحْكُمَ اللهُ بَيْنَ عِبَادِهِ فيِ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، ثُمَّ يُرَى سَبِيْلُهُ، إِمَّا إِلىَ اْلجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ

“Setiap pemilik harta yang tidak menunaikan zakatnya pasti akan Allah panaskan harta itu di Neraka Jahannam, terus dijadikan lempengan untuk kemudian diseterikakan ke kening dan badannya, sampai Allah memutuskan hukum bagi para hambaNya pada suatu hari yang ukurannya lima puluh ribu tahun. Kemudian ia akan melihat jalannya, akan ke Neraka atau ke Surga.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعاً أَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوِّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ بِلِهُزَمَتَيْهِ – يَعْنِيْ شِدْقَيْهِ – ثُمَّ يَقُوْلُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلاَ: (وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخُلُوْنَ …) الآية

“Barangsiapa yang memiliki harta lalu tidak menunaikan zakat-nya, di hari Kiamat nanti harta itu akan diubah menjadi ular botak yang memiliki dua taring. Ular itu akan membelitnya dan meng-ganyang rahangnya. Lalu ular itu berkata, “Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu dulu..” Kemudian ia membaca firman Allah: “..dan janganlah orang-orang yang berbuat kikir itu me-nyangka..”

Ular yang dimaksud adalah ular jantan, dalam bahasa arabnya syujaa” yang arti lainnya adalah “pemberani”. Botak di situ berarti rontok rambutnya akibat banyaknya bisa ular tersebut.

Di antara berkah zakat yang paling kental terlihat di tengah masyarakat adalah munculnya ketentraman, kestabilan keamanan sosial, karena segala rasa dengki akibat ketimpangan sosial dan ekonomi sudah bisa dihilangkan dari hati kaum papa. Rahmat dan sikap menolong juga mengalir deras ke dalam jiwa orang-orang kaya yang memiliki kelapangan harta. Sehingga masyarakat seluruhnya turut mendapatkan karunia dengan adanya sikap saling menyayangi, saling bahu-membahu sehingga muncul ke-mapanan sosial. Cukup sebagai gambaran jelasnya yang tampak pada Bani Asy”ar (Asy’ariyyin) yang diceritakan oleh Rasulullah dalam sabda beliau:

إِنَّ اْلأَشْعَرِيِّيْنَ إِذَا أُرْمِلُوْا فيِ الْغَزْوِ، أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ فيِ اْلمَدِيْنَةِ – جَمَعُوْا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فيِ ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ اقْتَسَمُوْهُ بَيْنَهُمْ فيِ إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ، فَهُمْ مِنيِّ وَأَنَا مِنْهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang Bani Asy”ar itu bila terkena musibah kematian dalam peperangan sehingga istri-istri sebagian di antara mereka menjanda, atau keluarga sebagian mereka kekurangan ma-kanan, mereka akan mengumpulkan makanan-makanan mereka dalam satu buntelan kain, baru mereka bagikan secara merata di antara mereka dalam satu nampan. Mereka bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari mereka..”

MENGHINDARI MENGGUNAKAN HARTA ORANG LAIN DENGAN CARA BATIL

Kehormatan harta seorang muslim sama dengan kehor-matan darahnya. Tidak halal harta seorang muslim untuk diambil kecuali dengan kerelaan hatinya. Di antara bentuk memakan harta orang lain dengan cara haram adalah: uang suap, penipuan, manipulasi, perjudian, najsy, menyembunyikan harga yang sebe-narnya (kamuflase harga), menimbun barang, memanfaatkan ketidaktahuan orang, penguluran pembayaran hutang oleh orang kaya, dan lain sebagainya. Masing-masing di antaranya telah dise-butkan larangannya dalam hadits-hadits shahih. Nanti akan dise-butkan rinciannya di tengah-tengah pembahasan ini, insya Allah.

Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisa: 29).

Allah melarang hamba-hambaNya yang beriman dari memakan harta sesamanya dengan cara haram, yakni dengan ber-bagai cara yang diharamkan, seperti riba, judi, suap dan berbagai aktivitas sejenis yang berbentuk manipulatif serta berbagai macam aktivitas yang menggiring kepada permusuhan dan memakan uang sesama dengan cara batil.

Allah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman:

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188).

Ayat ini mengisyaratkan diharamkannya suap menyuap. Tidak seorang pun pantas menyangkal, karena sebenarnya ia tahu bahwa ia telah berbuat zhalim.

Di antara riwayat yang menunjukkan diharamkannya tipu menipu adalah hadits Abu Hurairah radhillahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah lewat di hadapan setumpuk makanan. Beliau memasuk-kan tangan beliau ke dalam tumpukan makanan itu, ternyata jari-jari beliau menyentuh bagian makanan yang basah. Beliau bertanya, “Apa ini?” Pemiliknya menjawab, “Itu bekas terkena air hujan tadi malam, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Kenapa kalian tidak meletakkannya di bagian atas sehingga bisa terlihat orang? Barangsiapa yang menipu, ia bukan termasuk golonganku..”

Larangan terhadap “kamuflase harga” disebutkan dalam hadits Abu Hurairah dalam ash-Shahih bahwa ia menceritakan: Rasulullah a melarang menjual dengan sistem hashat (melempar batu, seperti menjual tanah dan mengukur luasnya dengan lemparan batu) dan menjual dengan sistem kamuflase harga.

Larangan kamuflase harga merupakan kaidah besar ilmu perdagangan Islam. Banyak permasalahan besar yang tidak bisa dihitung dengan jari yang tercakup di dalamnya. Seperti menjual barang yang tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau tidak bisa diserahterimakan, atau barang yang belum sempurna menjadi milik penjual.

Memang bisa jadi menjual sesuatu dengan menggunakan sebagian sistem kamuflase harga ini karena kebutuhan mendesak. Seperti ketidaktahuan akan pondasi rumah atau menjual kambing hamil. Dalam kondisi demikian jual beli itu sah. Karena pondasi itu terikut dalam sebuah rumah. Demikian juga janin dalam kam-bing hamil. Kebutuhan dalam hal ini amat mendesak, karena tidak mungkin melihat kedua hal tersebut.

Mengenai haramnya jual beli an-Najsy, adalah hadits Ibnu Umar berkata, “Nabi a melarang najsyi,” disebutkan oleh Ibnu Abi Aufa, “Orang yang melakukan najsy adalah pemakan riba yang curang.”

Sementara mengenai diharamkannya seseorang menjual ba-rang dalam yang masih dalam proses jual beli dengan orang lain agar tidak melukai hatinya, disebutkan dalam hadits Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلىَ بَيْعِ بَعْض

“Janganlah sebagian di antara kalian menjual sesuatu yang masih dalam proses jual beli dengan orang lain.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

لاَ يَبِعْ الرَّجُلُ عَلىَ بَيْعِ أَخِيْهِ، وَلاَ يَخْطُبْ عَلىَ خِطْبَةِ أَخِيْهِ، إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ

“Janganlah salah seorang di antara kalian menjual sesuatu yang masih dalam proses jual beli dengan orang lain. Dan janganlah salah seorang di antara kalian meminang wanita yang masih di bawah pinangan orang lain, kecuali ia diizinkan.”

Sementara diharamkannya menimbun adalah disebutkan dalam hadits Ma”mar bin Abdullah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

“Tidak ada yang menimbun kecuali ahli maksiat,”

Yang dimaksud dengan ihtikar adalah membeli komoditi di saat harganya mahal, lalu menyimpannya hingga harganya semakin mahal sementara orang-orang amat membutuhkan komoditi tersebut.

Hikmah diharamkannya ihtikar adalah sebagai upaya mencegah bahaya yang menimpa masyarakat umum.

Termasuk di antara sikap buruk yang nekat ketika seseorang memakan harta orang lain dengan cara haram dengan menggu-nakan sumpah palsu. Itu diisyaratkan oleh hadits Abu Umamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِيْنِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ اْلجَنَّةَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئاً يَسِيْراً يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيْباً مِنْ أَرَاكٍ

“Barangsiapa yang merebut hak seorang muslim dengan sumpah (palsu)nya, pasti Allah akan menjebloskannya ke dalam Neraka dan mengharamkannya masuk Surga.” Ada seorang Sahabat ber-tanya, “Meskipun hanya sesuatu yang sepele wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya, meskipun hanya sebatang kayu arak.”

Diriwayatkan oleh Muslim dari Mas”ud bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ عَلىَ مَالِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانٌ

“Barangsiapa bersumpah untuk mendapatkan harta seorang muslim dengan cara haram, ia akan bertemu dengan Allah dan Allah dalam keadaan murka kepadanya.”

LOYAL KEPADA ORANG-ORANG BERIMAN

Seorang pengusaha muslim meskipun sudah melanglang buana ke seluruh penjuru bumi, dan sudah menguasai barat dan timur dengan usaha yang dijalaninya, namun ia tetap bagian dari umat Islam juga. Ia tetap harus mengusung dalam hatinya loya-litas, kecintaan dan pembelaan terhadap umat ini. Ia tetap menjadi juru nasihat bagi umat Islam, tetap mencintai kebaikannya, tidak menyokong musuh umat atas umat itu. Sehingga dalam mela-kukan usahnya ia tidak akan bekerjasama dengan musuh-musuh Allah melakukan hal-hal yang membahayakan umat Islam. Dalam melakukan segala sikapnya, ia selalu bertolak dari dasar keya-kinan yang kokoh, yang lebih besar daripada uang dan lebih mengakar daripada gunung. Keyakinan itu mencanangkan dalam hatinya sikap al-Wala (loyalitas) dan al-Bara (sikap antipati). Akar keyakinan itu semakin diperdalam oleh puluhan nash diriwa-yatkan berkaitan dengan persoalan ini.

Berdasarkan semua penjelasan sebelumnya, seorang pengusaha muslim tidak berhak mengadakan hubungan bisnis dengan pihak yang jelas-jelas memaklumkan perang terhadap Islam dan jelas-jelas pula menampakkan permusuhannya terhadap umat Islam.

Seorang usahawan muslim tidak boleh mengadakan usaha penjualan daging rusak atau makanan yang sudah kadaluwarsa, hanya karena mengejar keuntungan dunia yang didapatkannya dari jalan penuh dosa tersebut. Perbuatan itu termasuk pengkhia-natan terhadap umat Islam dan termasuk bentuk sokongan ter-hadap musuh umat yang tidak mungkin berjalan seiring dengan keimanan sama sekali.

Seorang usahawan muslim juga tidak akan ikut andil dalam berbagai kegiatan yang secara tidak langsung dapat menguatkan barisan pihak tersebut dalam menekan kaum muslimin. Seperti perdagangan senjata dan sejenisnya. Karena itu termasuk bentuk menolong kaum musyrikin memerangi umat Islam, atau menjadi-kan mereka sebagai teman akrab membelakangi kaum muslimin. Keharaman perbuatan itu terbukti dalam banyak dalil-dalil yang tegas dan pasti.

Allah berfirman:

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang-siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. “ (Ali Imran: 28).

Allah juga berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil mu-suhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampai-kan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.” (Al-Mumtahanah: 1).

TIDAK MEMBAHAYAKAN ORANG LAIN

Seorang usahawan muslim harus menjadi kompetitor yang baik. Dalam melakukan kompetisi bisnis, ia tetap menganut kaidah “tidak melakukan bahaya dan hal yang membahayakan orang lain”. Ia tidak akan memainkan harga barang, menaik-turunkan harga untuk merugikan pedagang lain. Ia juga tidak akan memahalkan harga barang karena memanfaatkan kebutuhan orang lain, dan karena dia sendiri yang memiliki barang tersebut. Karena orang yang memiliki peluang mengendalikan harga ba-rang kaum muslimin, lalu ia sengaja memahalkannya, pasti ia akan menerima siksa Allah di hari Kiamat nanti.

Seorang usahawan muslim tidak akan menjual barang yang masih dalam proses transaksi jual beli dengan orang lain. Ia tidak akan menawar barang yang masih ditawar oleh orang lain. Ia tidak akan berlebihan memuji barangnya ketika ia menjualnya. Ia juga tidak akan berlebihan menjelek-jelekkan barang kalau ia hendak membelinya. Ia selalu dikendalikan oleh sikap adil dan arif dalam melakukan segala hal, karena itu adalah tabiat fitrah-nya. Dengan kedua sifat itulah, langit dan bumi ditegakkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencanangkan prinsip larangan ter-hadap hal-hal yang membahayakan melalui sabda beliau:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak dihalalkan melakukan bahaya atau hal yang membahayakan orang lain,”

Sementara mengenai diharamkannya seseorang menjual barang yang masih dalam proses transaksi jual beli dengan orang lain agar tidak melukai hatinya, disebutkan dalam hadits Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah sebagian di antara kalian menjual sesuatu yang masih dalam transaksi orang lain,”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Janganlah salah seorang di antara kalian menjual sesuatu yang masih dalam transaksi orang lain. Dan janganlah salah seorang di antara kalian meminang wanita yang masih di bawah pinangan orang lain, kecuali ia diizinkan,”

Sementara monopoli dan mempermainkan harga juga dije-laskan keharamannya dalam sabda beliau: “Setiap orang yang melakukan monopoli pasti ahli maksiat”

MENGHINDARI RIBA DAN SEGALA SARANA RIBA SEPERTI TRANSAKSI-TRANSAKSI KOTOR

Riba termasuk satu dari tujuh perbuatan yang membina-sakan. Orang-orang yang memakan riba hanya akan berdiri seba-gaimana orang-orang yang kesurupan setan. Al-Qur”an telah memaklumkan perang antara para pemakan riba dengan Allah dan RasulNya. Itu merupakan ancaman keras yang tidak ada duanya dibandingkan dengan maksiat lainnya. Karena siapa saja yang mencermati segala problematika di dunia yang klasik mau-pun modern, pasti akan mendapatkan kenyataan bahwa semua problematika ekonomi tersebut ujungnya akan kembali kepada bentuk kemungkaran berat ini. Seorang pengusaha muslim akan lebih menjaga diri agar tidak terjerumus dalam kubangan riba, dan mereka adalah orang yang paling jauh dari aktivitas yang berhubungan dengan riba melalui berbagai bentuk transaksi haram, meskipun secara zhahir tampak halal. Pada hakikatnya dalam Islam tidak dibolehkan untuk membuat trik transaksi yang bertujuan untuk menghalalkan yang telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya. Hal tersebut nanti akan diulas secara rinci di tengah-tengah studi pembahasan ini, insya Allah.

Allah berfirman menyinggung haramnya riba, mengan-cam para pelakunya dengan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni Neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276).

Allah memaklumkan perang terhadap para pemakan riba. Dan Allah menganjurkan memberi kelonggaran kepada orang-orang yang terlilit hutang dan memberi sedekah kepada mereka. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan meme-rangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-281).

Tergolongnya riba itu dalam hal-hal yang membinasakan disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diriwa-yatkan bahwa beliau bersabda:

اِجْتَنِبُوْا السَّبْعَ اْلمُوْبِقَاتِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَليِّ يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ اْلمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ اْلمُؤْمِنَاتِ

“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apakah tujuh hal yang membinasakan itu wahai Rasulullah!” Beliau menjawab: “Perbuatan syirik terhadap Allah, sihir, membu-nuh orang yang diharamkan untuk dibunuh kecuali dengan hak membunuhnya, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita suci yang sudah menikah bahwa mereka berzina..”

Berkaitan dengan laknat terhadap setiap orang yang terlibat dalam aktivitas riba pada sisi manapun, baik sebagai pemakan riba, atau orang yang memberikannya, sebagai sekretaris pelaku riba, atau saksi sekalipun, semuanya disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdillah, ia menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang memberikannya, juru tulisnya, dan saksi dari kedua belah pihak. Rasulullah menegaskan bahwa semuanya sama saja.

Di antara siksa akhirat yang dipersiapkan oleh Allah bagi para pemakan riba itu disebutkan dalam hadits Samurah bin Jundub diriwayatkan bahwa ia menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tadi malam aku melihat dua orang lelaki yang mendatangi. Mereka berdua mengeluarkan aku ke sebuah tanah suci. Mereka berangkat membawaku hingga sampai ke sebuah sungai darah. Di situ terdapat seorang lelaki yang sedang berdiri. Di tengah sungai juga terdapat lelaki pula yang di depannya ada sebuah batu. Orang pertama berusaha keluar dari sungai. Tapi begitu ia hendak keluar, lelaki kedua melempar mulutnya dengan batu hingga ia kembali ke dalam sungai tersebut. Demikianlah seterusnya setiap kali ia hendak keluar, mulutnya dilempar dengan batu hingga terpaksa kembali lagi. Aku bertanya: “Siapakah lelaki itu?” Lelaki yang mengajakku berkata: “Itulah orang yang suka memakan riba.”

MENJAGA KOMITMEN TERHADAP PERATURAN DALAM BINGKAI UNDANG-UNDANG SYARIAT

Seorang usahawan muslim tidak akan membiarkan dirinya terkena sanksi hukuman undang-undang positif karena ia me-langgar aturan-aturan dan rambu-rambu yang dihormati di tengah masyarakat. Ketika seseorang melakukan sikap tersebut, bukan berarti ia menetapkan hak bagi manusia untuk membuat undang-undang yang absolut. Akan tetapi sikap itu dia lakukan demi mengokohkan kewajiban yang diberikan Allah kepadanya untuk mencegah terjadinya kerusakan dan mencegah bahaya serta tidak membiarkan diri sendiri celaka. Oleh sebab itu sebisanya hendaknya ia bersungguh-sungguh menghindari berbagai aktivi-tas usaha yang dapat menjerumuskannya pada perangkap berbagai aturan yang bisa saja bertentangan dengan syariat. Misalnya tidak terlambat membenahi rekening dan nota-nota penting sehingga tidak terkena hukuman denda keterlambatan.

Sumber: Alsofwah.or.id

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/62-akhlak-usahawan-muslim.html